Dibawa kebut Valentino Rossi keluaran Wonosobo 👏🏻👏🏻👏🏻 Pertama kali naik ojek duduk di depan, rasanya kayak ikut uji nyali tanpa persiapan. Sopir di belakang santai kayak di pantai, sementara aku di depan lebih mirip bemper hidup. Jalanan menanjak, motor ngebut, dan aku cuma bisa pasrah sambil mikir, “Ini naik ojek apa naik wahana di Dufan?” Pegangan juga bingung—ke setang nggak bisa, ke sopir apalagi, jadi ya udah, tawakal aja. Sampai Pos 1 dengan selamat, tapi lutut sedikit goyang dan mental agak terkoyak. Satu kesimpulan: mendaki Gunung Sumbing ternyata bukan dimulai dari trekking, tapi dari bertahan hidup di atas ojek dulu. #GunungSumbing
Aku pikir, setelah dua kali mendaki gunung, tubuhku akan lebih siap. Aku pikir, aku mulai memahami ritme mendaki, mulai mengerti bagaimana tubuh dan pikiranku harus bekerja sama di jalur yang tak pernah mudah. Tapi ternyata, Gunung Sumbing—gunung ketiga yang kupilih untuk kudaki—mematahkan semua pemikiranku. 3.371 mdpl, gunung tertinggi ketiga di Jawa, menyambutku dengan ujian yang lebih berat dari yang kubayangkan. Saat perjalanan hampir memasuki dua jam terakhir menuju area camp, hujan badai turun tanpa aba-aba. Angin menerjang tanpa ampun, menusuk tulang, membuat tubuh menggigil meski jaket dan raincoat sudah melekat erat. Jalur yang sebelumnya masih terlihat jelas berubah menjadi licin, penuh lumpur, dan diselimuti kabut tebal. Setiap langkah terasa seperti perlawanan. Melangkah satu langkah ke depan, didorong angin satu langkah ke belakang. Aku ingin marah. Aku ingin menangis. Tapi saat menoleh ke teman-teman, aku melihat mereka juga berjuang. Tak ada yang berkata ingin menyerah. Tak ada yang ingin putar balik. Aku menghapus air mata yang hampir jatuh, menggenggam trekking pole lebih erat, menundukkan kepala melawan angin, dan terus melangkah. Tak peduli seberapa deras hujan ini, seberapa kuat angin menghempaskan kami. Kami datang dengan satu tujuan, dan badai ini hanya bagian dari cerita yang nanti akan kami kenang. Kami akan menuju puncak Gunung Sumbing.#GunungSumbing
Agustine adalah seekor gajah sumatera betina berusia 56 tahun yang hidup damai di Taman Nasional Gunung Leuser, salah satu kawasan konservasi terpenting di Indonesia. #AbyUmyOnTheRoad #ProvinsiSumateraUtara Taman Nasional ini terletak di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, menjadi rumah bagi berbagai satwa liar, termasuk spesies-spesies langka dan dilindungi seperti harimau sumatera, orangutan, badak sumatera, dan tentunya, gajah sumatera. Sebagai individu yang telah melalui lebih dari lima dekade hidupnya, Agustine menjadi simbol ketahanan dan pentingnya konservasi satwa liar di kawasan ini. Ia adalah salah satu dari sekitar 1.600 gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang masih bertahan, menurut data populasi terbaru. Spesies ini terdaftar sebagai kritis terancam punah (Critically Endangered) dalam Daftar Merah IUCN, akibat hilangnya habitat, perburuan liar, dan konflik dengan manusia. Agustine sering terlihat bersama kawanannya, menikmati area hutan lebat dan padang rumput di dalam taman nasional, yang mencakup lebih dari 7.927 km². Dalam upaya melindungi Agustine dan gajah lainnya, pihak pengelola taman bekerja sama dengan berbagai organisasi konservasi untuk memantau pergerakan kawanan menggunakan teknologi GPS, memitigasi konflik manusia-gajah, dan merehabilitasi area hutan yang rusak. Program-program edukasi juga dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat lokal tentang pentingnya keberadaan gajah bagi ekosistem. Agustine tidak hanya menjadi bagian dari lanskap Taman Nasional Gunung Leuser, tetapi juga menjadi pengingat betapa mendesaknya upaya perlindungan untuk satwa liar, agar generasi mendatang dapat terus menyaksikan keindahan dan keagungan gajah sumatera di habitat alaminya. 📍 Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara — Aceh, Indonesia.
Jatuh cinta, putus cinta, gagal nikah, nangis kaya orang tolol, kesemsem kaya bocah goblok, saksinya ribuan menit yang terputar dari lagu-lagu Billie Eilish. Sedih bgt. Seneng bgt. Thankyou for your beautiful art ❤️ #BillieEilish #Melbourne #Concert
Perjalanan menuju Gunung Sumbing via Garung dimulai dengan deru ojek yang meraung-raung melawan tanjakan berbatu. Jalanan curam membuat jantung sedikit berdebar, tapi semangat tetap berkobar. Setibanya di Pos 1, kaki mulai melangkah, menembus jalur tanah yang masih ramah, meski napas perlahan mulai terasa berat. Dua jam berjalan menuju Pos 2, energi mulai terkuras, tetapi pemandangan yang semakin terbuka menjadi hadiah kecil yang menyemangati. Setelah istirahat sejenak, perjalanan dilanjutkan ke Pengkolan 9, yang katanya tinggal 45 menit lagi—tapi 45 menit di gunung sering kali terasa seperti seumur hidup. Setapak demi setapak, medan mulai menanjak, dan udara mulai mengirimkan hawa dingin yang menusuk kulit. Namun, semua itu masih terasa wajar, hingga akhirnya tiba di Tanjakan Masalah. Di sinilah semuanya berubah. Sesuatu terjadi—sesuatu yang tak terduga, sesuatu yang membuat langkah tertahan dan hati berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Kapan nih upload part selanjutnya? 😳😳😳 #GunungSumbing
Tidak Ada yang Tidak Bisa. Gunung ketiga. Gunung Sumbing, 3.371 mdpl. Gunung tertinggi ketiga di Jawa, dan aku, dengan asma akut dan takut ketinggian, berhasil menaklukkannya. Aku mendaki dengan pace orang dengan paru-paru normal, menembus jalur yang tak ramah, melawan hujan badai yang seakan ingin menguji tekadku. Setiap langkah adalah perlawanan, setiap tarikan napas adalah pengingat bahwa aku masih hidup, bahwa tidak ada limit untuk mencapai mimpi gila. Aku tidak akan menyerah. Aku akan terus berjalan, terus mendaki, terus mengejar impian mengelilingi dunia dan menaklukkan lebih banyak puncak. Karena aku percaya, tidak ada yang tidak bisa. Terima kasih dari lubuk hati terdalam untuk Mas Purwo, Mas Gustav, Mas Yordi, Mas Supyan, Mas Iko, dan seluruh tim Falisha Journey. Kalian telah mewujudkan mimpi seorang perempuan gila yang tak mau berhenti bermimpi. Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih sebanyak-banyaknya. Karin bahagia. Dan bulan depan, Karin akan mendaki gunung selanjutnya. #GunungSumbing #mountsumbing